“IKAN SEJEREK, BERE SECUPAK”


Oleh:
Ade Kosasih, S.H., M.H

“Ikan sejerek, bere secupak” merupakan pepatah asli dari Bengkulu. Pepatah “ikan sejerek, bere secupak” sering digunakan oleh warga masyarakat Bengkulu dalam obrolan sehari-hari yang bersifat lelucon atau guyon. Dalam pengertian sehari-hari pepatah tersebut seringkali diartikan sebagai ungkapan kepuasan terhadap apa yang telah diperoleh, karena biasanya pepatah “ikan sejerek, bere secupak” dipelesetkan dengan menyambungkan kata “madar” pada bagian akhir kalimat yang artinya santai, berleha-leha atau tenang.
Akibatnya, pepatah tersebut mengalami perubahan makna dari yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai kesederhanaan dalam pola hidup masyarakat Bengkulu bergeser menjadi makna konotasi yang seolah-olah mencerminkan pola hidup yang cepat puas terhadap sesuatu yang dimiliki, bermakna santai dan terkesan pemalas. Terlepas dari makna yang telah disalah tafsirkan oleh masyarakat umum tersebut, ternyata pepatah “ikan sejerek, bere secupak” apabila dikaji lebih komprehensif memiliki pesan moral yang sangat mendalam, arif dan mengandung nilai-nilai kebajikan.
Pada tulisan ini saya mencoba untuk meluruskan makna tersebut dan membawanya kembali pada maksud yang sebenarnya. “Ikan sejerek, bere secupak” (tanpa embel-embel “madar”) adalah proyeksi atas pola hidup yang sederhana, tidak konsumtif apalagi koruptif tapi tetap produktif. Apabila dijabarkan lebih lanjut, maka makna “ikan sejerek, bere secupak” artinya yaitu:
1. Pola hidup sederhana yang tidak memaksakan diri untuk memenuhi nafsu duniawi yang tidak terbatas.
2. Mensyukuri apa yang telah dimiliki, mencukupkan sesuatu yang mungkin sebenarnya belum cukup. Dalam konteks Islam dikenal dengan istilah qona’ah.
3. Mencerminkan kesederhanaan namun tetap produktif, artinya untuk memperoleh “ikan sejerek bere secupak” (ikan satu ikat dan beras satu liter) seseorang tetap harus berusaha untuk mendapatkannya dengan cara bekerja.
4. Mencerminkan kepedulian terhadap sesama manusia. Artinya, seandainya kita memperoleh/memiliki sesuatu yang lebih (lebih dari seikat ikan dan seliter beras), kita diwajibkan untuk memberi kepada orang lain yang membutuhkan.
5. Memberikan pesan untuk tidak bersikap rakus, tamak dan korupsi, karena kehidupan yang mewah, glamor, tidak ada nilainya apabila diperoleh dari hasil yang tidak baik seperti mengambil hak atau milik orang lain.
6. Menjauhkan diri dari budaya hedonisme yang hanya mencari kesenangan semata, namun mengabaikan dampak buruknya.
Berdasarkan uraian penjelasan tersebut di atas, pesan moral yang terkandung dalam pepatah tersebut sangat bermanfaat bagi setiap orang khususnya warga Bengkulu, lebih khusus lagi bagi aparatur penyelenggara negara untuk membiasakan hidup sederhana dan peduli terhadap gejala-gejala patologi sosial yang saat ini semakin parah. Penetrasi dan akulturasi budaya asing (Barat) yang dikemas dalam modernisasi seperti pola hidup konsumtif, budaya hedonis, dan sekuler telah mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal yang seharusnya menjadi benteng penjaga moral dan prilaku.

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar