SENGKETA KEPEGAWAIAN


Oleh:
Ade Kosasih, S.H., M.H

Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), memberikan pembinaan kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna. Demikian juga sebaliknya, jika PNS di dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya melakukan pelanggaran dapat dijatuhi hukuman. Akibat dari penjatuhan hukuman tersebut dapat menimbulkan ketidakpuasan pada PNS yang bersangkutan dan tidak menutup kemungkinan memicu terjadinya sengketa kepegawaian.
Adapun jenis-jenis hukuman atau sanksi terhadap pelanggaran disiplin PNS yaitu terdiri dari sebagai berikut:
1. Hukuman Ringan meliputi:
a. Teguran lisan;
b. Teguran tertulis; dan
c. Pernyataan tidak puas secara tertulis.
2. Hukuman Sedang meliputi:
a. Penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun;
b. Penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun; dan
c. Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.
3. Hukuman Berat meliputi:
a. Penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun;
b. Pembebasan dari jabatan;
c. Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS; dan
d. Pemberhentian dengan tidak hormat sebagai PNS.
Sengketa kepegawaian merupakan bagian dari sengketa tata usaha negara. Namun penyelesaian sengketa kepegawaian memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan sengketa tata usaha negara pada umumnya. Sengketa-sengketa di bidang kepegawaian tidak ditangani secara langsung oleh suatu Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun), namun terlebih dahulu harus diselesaikan melalui suatu proses yang mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat di lingkungan pemerintahan.
Proses tersebut di dalam ilmu hukum disebut peradilan semu (quasi rechtspraak). Dikatakan sebagai peradilan, karena memenuhi unsur-unsur layaknya suatu badan peradilan yaitu adanya peraturan, adanya pihak-pihak yang bersengketa, adanya pejabat yang berwenang menyelesaikan sengketa dan adanya sanksi. Namun dikatakan semu (quasi) (Lutfi Effendi:2004:97), karena proses peradilan tersebut dilaksanakan di dalam internal lingkungan pemerintahan tetapi tata caranya sama dengan suatu badan peradilan, kegiatan peradilan dilakukan oleh suatu badan atau komisi atau dewan atau panitia, dan bukan dilaksanakan oleh lembaga peradilan indefenden di luar lingkungan pemerintahan (yudikatif) (Kursif Penulis).
Peradilan semu ini disebut dengan Upaya Administratif, sedangkan untuk sengketa tata usaha negara pada umumnya tidak tersedia upaya penyelesaian secara administratif. Yang dimaksud upaya administratif di sini adalah prosedur yang ditempuh oleh PNS apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara di lingkungan pemerintahan sendiri. Upaya administratif tersebut dilaksanakan di lingkungan internal pemerintah itu sendiri. Upaya administrtif tersebut terdiri dari dua bentuk, yaitu Keberatan dan Banding Administratif.
Keberatan yaitu penyelesaian sengketa yang dilakukan sendiri oleh Pejabat atau Instansi yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa. Sedangkan Banding Administratif adalah penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Pejabat atau Instansi atasan atau Instansi lainnya dari yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya apabila belum merasa puas, barulah penyelesaian sengketa melalui Peradilan Tata Usaha Negara dapat ditempuh.
A. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian Melalui Upaya Administratif.
Upaya administratif baik Keberatan maupun Banding Administratif tidak berlaku terhadap jenis hukuman ringan, sedangkan untuk hukuman sedang dan berat berdasarkan Pasal 15 ayat (2) PP 30 Tahun 1980 dapat diajukan “keberatan” kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum dalam jangka waktu 14 hari sejak menerima keputusan hukuman disiplin tersebut. Keberatan yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) tersebut adalah Banding Administratif sebagaimana dikenal di dalam istilah Hukum Tata Usaha Negara, karena diajukan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum, bukan kepada pejabat yang berwenang menghukum. Hal ini kemudian dipertegas lagi oleh rumusan Pasal 35 ayat (2) Undang-undang No 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengatur bahwa, “Sengketa kepegawaian sebagai akibat pelanggaran terhadap peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil diselesaikan melalui upaya banding administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian”.
Badan Pertimbangan Kepegawaian imerupakan badan khusus Adhoc yang bersidang sekurang-kurangnya satu kali dalam satu bulan. Badan Pertimbangan Kepegawaian ini terdiri dari Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan Aparatur Negara (Menpan) sebagai Ketua merangkap Anggota, Kepala Badan Administrasi Negara selaku Sekretaris merangkap Anggota, Mensesneg, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelijen Negara, Dirjend Hukum dan HAM, dan Ketua Pengurus Korpri. Untuk mendukung kelancaran tugas Badan Pertimbangan Kepegawaian tersebut dibentuk Sekretariat Badan Pertimbangan Kepegawaian.
Banding Administratif kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian hanya dibatasi terhadap hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sedangkan untuk jenis hukuman lainnya kecuali hukuman ringan, upaya Banding Administratif diajukan kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum.
Banding Administratif tersebut diajukan secara tertulis melalui saluran hirarki. Setiap pejabat yang menerima surat Banding Administratif tersebut, wajib menyampaikannya kepada atasan pejabat yang berwenang menghukum atau Badan Pertimbangan Kepegawaian dalam jangka waktu tiga hari sejak menerima surat tersebut. Namun untuk hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Presiden tidak dapat diajukan Banding Administratif.
Atasan yang berwenang menghukum atau Badan Pertimbangan Kepegawaian yang menerima surat Banding Administratif wajib mengambil keputusan dalam jangka waktu satu bulan. Apabila dipandang perlu, maka atasan pejabat yang berwenang menghukum dapat memanggil dan mendengar keterangan pejabat yang berwenang menghukum yang bersangkutan dan atau orang lain yang dianggap perlu. Atasan pejabat yang berwenang menghukum atau Badan Pertimbangan Kepegawaian dapat menguatkan atau merubah hukuman disiplin tersebut melalui surat keputusan. Apabila PNS yang bersangkutan merasa tidak puas atas keputusan tersebut dapat mengajukan gugatan kepada Peradilan Tata Usaha Negara.
B. Penyelesaian Sengketa Kepegawaian Melalui Peradilan Tata Usaha Negara.
Hubungan korelasi antara Upaya Administratif dengan Peradilan Tata Usaha Negara dapat dilihat pada Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menentukan bahwa “Dalam hal suatu badan hukum atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia”. Sedangkan ayat (2) mengatur bahwa “Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan”.
Namun perlu diperhatikan di sini adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 yang memberikan petunjuk kepada badan Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa tata usaha negara yang terdapat upaya administratif. Petunjuk tersebut yaitu:
1. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang tersedia adalah Keberatan, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pangadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
2. Jika dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa Tata Usaha Negara upaya administratif yang tersedia adalah Banding Administratif saja atau Keberatan dan Banding Administratif, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke Pangadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Namun jika dikaji lebih mendalam terhadap penyelesaian sengketa kepegawaian, maka apabila upaya administratif (dalam hal ini Banding Administratif) telah ditempuh, selanjutnya diajukan gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) bukan ke PTUN. Oleh karena dalam sengketa kepegawaian upaya yang tersedia hanya Banding Administratif kepada atasan Pejabat yang mengeluarkan keputusan atau Badan Pertimbangan Kepegawaian. Jadi dalam konteks ini, PTTUN adalah pengadilan tingkat pertama bukan tingkat banding.
Mungkin akan menimbulkan pertanyaan bagi orang awam, mengapa harus ada upaya administratif? Mengapa tidak langsung saja ke Peradilan Tata Usaha Negara? Bukankah yang menjadi lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa kepegawaian adalah Peradilan Tata Usaha Negara? Atau mengapa masih harus ke Peradilan Tata Usaha Negara, padahal sudah selesai di lingkungan internal pemerintahan? Apakah hal ini tidak mengurangi makna kepastian hukum? Untuk menjawab semua pertanyaan di atas, maka perlu diuraikan perbedaan antara penyelesaian melalui upaya administratif dengan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Perbedaan itu antara lain (Wiyono:2005:98-99):
1. Dalam penyelesaian sengketa melalui upaya administratif, pemeriksaan yang dilakukan sifatnya menyeluruh, baik dari segi hukum (rechtmatigheid) maupun dari segi kebijaksanaannya (doelmatigheid). Sedangkan pemeriksaan yang dilakukan oleh Peradilan Tata Usaha Negara sifatnya tidak menyeluruh, tetapi hanya terbatas dari segi hukumnya (rechtmatigheid).
2. Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya administratif dapat mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat memerintahkan untuk mengganti atau merubah atau meniadakan keputusan yang menjadi obyek sengketa. Sedangkan Peradilan Tata Usaha Negara tidak dapat mengganti, mengubah atau meniadakan atau dapat memerintahkan untuk mengganti atau merubah atau meniadakan keputusan yang menjadi obyek sengketa. Namun hanya dapat menjatuhkan putusan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa tersebut “tidak sah” atau “batal” (Kursif Penulis).
3. Pada waktu Badan atau Pejabat atau Instansi yang memeriksa upaya administratif menjatuhkan putusan terhadap sengketa tersebut dapat memperhatikan perubahan yang terjadi sesudah dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang mengakibatkan terjadinya sengketa tersebut. Sedangkan penyelesaian oleh Peradilan Tata Usaha Negara hanya memperhatikan keadaan yang terjadi pada waktu dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa tersebut.
Pada saat akan mengajukan gugatan sengketa kepegawaian ke Peradilan Tata Usaha Negara (baik PTUN maupun PTTUN) ada hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Tenggang waktu mengajukan gugatan.
Di dalam sengketa tata usaha negara tenggang waktu mengajukan gugatan ditentukan secara limitatif. Adapun tenggang waktu yang dimaksud adalah 90 hari sejak diterimanya atau diumumkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi obyek sengketa. Dengan demikian, diambil kesimpulan bahwa tenggang waktu gugatan yang disediakan apabila tidak puas terhadap keputusan upaya administratif, maka dihitung sejak saat diterimanya keputusan dari Pejabat atau Instansi yang mengeluarkan keputusan (jika upaya administratif yang tersedia hanya Keberatan), atau sejak saat diterima keputusan dari Pejabat atasan atau instansi atasan atau instansi lain yang berwenang (jika upaya administratif hanya berupa banding administratif saja atau berupa Keberatan dan Banding Administratif).
2. Gugatan harus ditujukan kepada pengadilan yang berwenang.
Dalam mengajukan gugatan harus dilakukan secara tertulis dan ditujukan kepada pengadilan yang berwenang. Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 menentukan bahwa, “gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan tergugat”. “Apabila tergugat lebih dari satu dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat salah satu tergugat”. “Dalam hal tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan”.
3. Di dalam sengketa kepegawaian, tuntutan gugatan terhadap Surat Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan terjadinya sengketa kepegawaian dapat berupa permohonan kepada pengadilan untuk menyatakan Keputusan tersebut tidak sah atau batal dan dapat disertai dengan tuntutan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi.
4. Apabila Putusan PTTUN masih tidak memberikan kepuasan kepada PNS yang bersangkutan, maka dalam jangka waktu paling lambat empat belas hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.


BIBLIOGRAFI

Lutfi Effendi, “Pokok-Pokok Hukum Administrasi”, Malang: Bayu Media, 2004.
Wiyono, R., “Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara”, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Aturan Hukum:
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Keputusan Presiden Nomor 71 Tahun 1998 tentang Perubahan Keputusan Presiden Nomor 67 Tahun 1980 tentang Badan Pertimbangan Kepegawaian.

Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991.

Tinggalkan komentar

Belum ada komentar.

Comments RSS TrackBack Identifier URI

Tinggalkan komentar